Begitu lah penggalan kalimat pertama yang akan terbaca ketika seseorang membuka website milik Violet Oon, seorang peranakan kelahiran tahun 1949 yang memiliki reputasi hebat sebagai koki sekaligus duta bagi Singapura di kancah internasional, khusus untuk makanan peranakan.
Bertemu dengan Violet Oon di salah satu restoran yang dikelola bersama anak-anaknya di salah satu sudut National Gallery di Singapura, Rabu (19/10), merupakan sebuah kebetulan yang menyenangkan.
Sambutan hangat begitu terasa dari Nyonya (sebutan untuk wanita peranakan) yang juga pernah menjadi reporter musik dan seni di Her World Singapura pada 1971 ini.
Cerita menarik tentang bagaimana peranakan dan makanan peranakan berkembang di Singapura mengalir lancar dari pemilik restoran National Kitchen by Violet Oon dan Violet Oon Singapore di Bukit Timah ini.
"Saya peranakan. Dan keluarga saya di Singapura sudah tujuh generasi, sekitar dua abad. Kuburan kakek buyut saya di Singapura tercatat tahun 1895," ujar Violet.
Ia mengatakan bahwa peranakan sangat berkaitan erat dengan Indonesia karena pusat dari peranakan sebenarnya ada di Malaka, Singapura, Penang, Jakarta, Medan, dan Semarang. Pendiri majalah The Food Paper ini bahkan menceritakan bahwa kebaya pernikahan ibunya dibuat di Indonesia, sedangkan sarung yang digunakan berasal dari Pekalongan.
Violet mengaku dirinya merupakan peranakan yang berasal dari campuran Tionghoa dari Fukien dan Semarang. Meski demikian keturunannya bukan muslim, karena 300 hingga 400 tahun lalu saat kakek buyutnya dari generasi pertama keluarga bermigrasi dari wilayah Cina Selatan, Islam belum begitu lazim di lingkungan tinggal mereka.
Ketika orang-orang Tionghoa masuk ke wilayah Asia Tenggara yang kini menjadi pusat peranakan, mereka, menurut penulis buku Peranakan Cooking ini, menikah dengan gadis-gadis Melayu dan memulai kultur baru yang kemudian dikenal dengan nama peranakan.
"Dan budaya ini sangat klasik. Cara kami berpakaian, bermusik, hingga hidangan yang kami kembangkan bercita rasa klasik," ujar ibu dari dua anak ini.
Sehari sebelumnya, eksplorasi makanan Singapura dan Kampong Glam bersama chef Lionel Chee juga mengungkap sejarah tentang peranakan. Chef yang kini membanting stir menjadi tour guide bersertifikat khusus untuk mengenali makanan peranakan ini juga menceritakan perihal kawin campur antara imigran asal Cina Selatan dengan masyarakat lokal.
Namun, menurut dia, peranakan tidak hanya melulu soal kawin campur antara orang-orang Thionghoa dengan gadis-gadis Melayu saja. Masyarakat lokal Singapura saat ini 71 persen merupakan ras Tionghoa, mereka menikah dengan warga negara asing seperti dari India, Filipina, hingga Eropa dan membawa kultur ke dalam rumah mereka dan menghasilkan contohnya India peranakan atau Sinoy yang merupakan kombinasi Singapura-Pinoy.
Perayaan dalam peranakan
Violet dan chef Lionel menjalankan restoran peranakan sama-sama dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Bedanya Violet masih menjalankannya hingga sekarang namun chef Lionel sudah berganti profesi meski hingga saat ini masih memasak untuk keluarga terdekat.
Dengan bahasa mereka masing-masing, keduanya menjelaskan bagaimana mereka ingin memastikan masakan peranakan tetap ada di masa depan seiring dengan semakin kuatnya penetrasi budaya global di kalangan kaum muda.
Keduanya pun menyampaikan kondisi yang sama bagaimana anak-anak muda lebih memilih makanan global di pusat-pusat perbelanjaan atau restoran ketimbang memilih makanan asli Singapura, yang dalam hal ini makanan peranakan.
Jika Lionel memilih menyampaikan secara verbal melalui pekerjaannya sekarang, maka Violet meneruskan memasak dan mengembangkan menu-menu peranakan lainnya agar dapat terus dirasakan kelezatannya oleh pengunjung restorannya.
Meski Violet mengatakan memiliki kaitan dengan Indonesia, dirinya menghadirkan menu-menu peranakan campuran Cina dan Malaysia. Makanan Melayu begitu berpengaruh dalam hidangan peranakan yang disajikan di awal generasi keluarganya.
"Rasa masakannya dapat dikenali oleh orang Indonesia karena saya rasa banyak kesamaan," ujar dia.
Apa yang disampaikan Violet memang benar. Bersama sejumlah wartawan Indonesia lainnya yang sedang mengikuti Journalist Visit Programme yang dibuat Singapore International Foundation (SIF), Antara ikut merasakan sendiri sejumlah menu peranakan yang memiliki kemiripan dengan masakan Indonesia khusunya masakan dari Sumatera.
Saat mencicipi makanan pembuka Kuay Pie Tee yang terbuat dari bambu muda atau yang di Indonesia biasa disebut rebung yang dimasak dengan saos manis ditambah udang tentu mengingatkan menu ini dengan lumpia Semarang.
Sedangkan Rebung Masak Lemak yang merupakan campuran dari ayam dan rebung yang dimasak dengan santan kental rasanya mengingatkan pada gulai ayam.
Begitu pula daging rendang dan sambal terong yang di Indonesia biasa disebut rendang dan balado terong. Rasanya hampir sama, namun di National Kitchen makanan-makanan tersebut dimasak lebih manis dari yang biasa ditemui di rumah makan Padang di Indonesia.
Fine dining peranakan siang itu ditutup dengan potongan cantik Kueh Beng Kah yang terbuat dari tepung tapioka yang disiram dengan saus gula jawa dan santan kental. Tidak hanya tampilannya yang menarik, rasa kue ini pun begitu legit.
"Ini bukan restoran halal, tapi tidak menggunakan daging babi dan minyak babi, daging yang kami hidangkan pun bersertifikat halal. Restoran ini menjadi tidak halal karena kami menjual minuman keras, selebihnya semua masakan halal sehingga muslim bisa datang," ujar lanjutnya.
Violet yang mulai menulis tentang kuliner sejak 1974 ini mulai mengumpulkan resep-resep masakan Singapura alias resep peranakan yang disajikan di kesempatan-kesempatan istimewa di negaranya, contohnya saja resep-resep menu makan malam Raffles Hotel tahun 1965 atau resep dari menu malam natal di Singapura tahun 1935.
"Saya pikir makanan dan kehidupan di Asia adalah satu. Di banyak negara, terutama negara barat, makanannya adalah restoran food. Tapi di Asia, termasuk di Indonesia, saya menyebutnya food and life karena makanan yang biasa kita santap datang dari makanan rumah kita sendiri, dari kenduri, dan lain sebagainya," ujar Violet.
Apa yang dihidangkan ketika orang-orang Asia berkumpul bersama keluarga besar adalah makanan-makanan istimewa, makanan-makanan dengan rasa yang kaya oleh rempah dan bumbu yang beragam, makanan-makanan terbaik yang dibuat dengan proses panjang untuk tujuan sebuah perayaan.
Kondisi ini, ia mengatakan sangat berbeda dengan mereka di dunia barat yang ketika berada di rumah justru menyajikan santapan yang sangat polos.
Filosofi itu pula, menurut Violet, melekat pada makanan peranakan. Bahwa setiap menu yang disajikan merupakan menu rumahan yang dibuat untuk tujuan perayaan bersama keluarga, karena itu harus dibuat dengan istimewa.
Editor: Aditia Maruli
COPYRIGHT © ANTARA 2016
http://ift.tt/2eXlgSU